UNIVERSITAS GUNADARMA

UNIVERSITAS GUNADARMA

Cari Blog Ini

Etika dan profesionalisme

Minggu, 10 April 2011

pelanggaran kode etik pers

Nama : Dody Fauzi
Kelas : 4Ka22
Npm 17110229
Pelanggaran Kode Etik Pers
Wartawan atau insan pers atau nyamuk pers bahkan dahulu disebut dengan “kuli tinta” harus diakui adalah penyampai informasi yang paling ampuh dan menentukan dalam membangun opini di seluruh dunia termasuk di tanah air. Peranan pers tertinggi yang dituntut -dari seluruh Insan Pers- tidak lain adalah mampu berperan sebagai pembawa wahana komunikasi dan pembentuk opini yang obyektif. Selain itu tentu saja berperan sebagai penjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan berkeadilan sosial.
fokus kita adalah pada issue pelanggaran kode etik pers yang mencuat dalam pemberitaan akhir-akhir ini.
Adanya perubahan beberapa kali payung hukum dalam menentukan arah dan kebijakan serta perlindungan kepada wartawan kita, pemerintah telah menerbitkan payung hukumnya beberapa kali. Ini artinya bahwa tidak dapat dipungkiri, sesunguhnya peranan wartawan itu memang dibutuhkan. Wartawan dituntut memperbaiki kualitas dan kemampuannya dalam menyikapi arus dan kebutuhan informasi masyarakat dan diarahkan untuk mengemasnya berdasarkan kode etik wartawan Indonesia.
Wartawan kita dari dahulu hingga kini telah berjasa dalam membentuk karakter dan mental pendidikan informasi melalui sarana atau media cetak, tulis serta elektronik. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir pers Indonesia tidak kenal lelah memberikan informasi yang mampu mencerdaskan masyarakat Indonesia dalam menerima, menyerap dan bersikap terhadap berbagai hal melalui informasi yang mereka terima setiap hari.
Harus juga diakui peranan Wartawan selama dekade tersebut semakin meningkat jumlanya untuk mengimbangi padatnya informasi dan kejadian-kejadian yang terjadi di seluruh dunia dan tanah air untuk disajikan kepada pembaca atau pemirsa di tanah air. Dalam peranan tersebut tidak jarang insan pers menghadapi konsekwensi yang tidak menyenangkan baik terhadap sumber informasi maupun terhadap insan pers itu sendiri. Tak jarang beberapa wartawan kita menghadapi tekanan mental, psikologis bahkan jiwanya demi kebenaran yang diyakininya.
Tapi, akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh adanya temuan tentang pelanggaran kode etik pers oleh para jurnalis atau wartawan itu sendiri. Temuan ini berdasarkan pengaduan masyarakat kepada komisi pengaduan masyarakat dan penegakan etika pers. Siapa tahu memang benar ada yang salah dengan pola dan teknis pemberitaan insan pers kita selama ini. Oleh karena itu dipandang perlu dan penting untuk menganalisa fenomena tersebut dalam beberapa catatan dan kajian berikut ini.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) atau dikenal juga dengan Kode etik Pers akhir-akhir ini semakin tersamar wujudnya. Mungkin saja beberapa jurnalis resmi, freelance dan part timer bahkan kontributor berita mengetahui UU pers atau peraturan tentang tata tertib mengenai pers tapi tidak mengetahui dengan mendetail isi UU dan Peraturan tersebut.
Inti dari peraturan tentang kode etik pers yang patut dan musti diperhatikan oleh seluruh Insan Pers adalah sebagai berikut :
• Hormati hak masyarakat untuk dalam memperoleh informasi yang BENAR
• Tempuh cara yang Etis dalam memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberi identitas yang jelas pemberi informasi.
• Menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, tidak melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dengan opini serta meneliti kebenaran informasi dan berimbang.
• Tidak menyiarkan berita yang mengandung fitnah, cabul, sadistis dan tidak menuliskan identitas korban kejahatan asusila.
• Tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi
• Memiliki hak tolak, merahasiakan informasi latar belakang sesuai kesepakatan
• Mencabut dan meralat kekeliruan dan melayani hak jawab.
Perhatikan baik-baik ke tujuh poin penting KEWI tersebut di atas. Sepintas kelihatan mudah sekali melaksanakan hal tersebut, tapi sesungguhnya sangat berat menjaga 7 (tujuh) ketentuan tersebut dengan baik dan benar. Maka tak heran BELUM semua insan pers mampu melaksanakan 7 poin penting itu dengan baik dan benar.
Banyak faktor dan penyebab insan pers TIDAK atau BELUM mampu melaksanakan ke 7 ketentuan KEWI dengan baik benar, penyebabnya adalah :
1. Terlalu mudah menerbitkan surat izin Penerbitan Perss (SIUPP) yang berimplikasi kepada tuntutan kebutuhan terhadap tenaga pers. Pada sisi lain, ketersediaan pers yang benar-benar Pers sesungguhnya musti kita akui (sadari dengan jujur) belum memenuhi standard kompetensi pers yang ideal.
2. Masyarakat pernah memberi predikat “Wartawan Bodrex” atau “Wartawan tembak” representasi pengakuan masyarakat tentang adanya Pers yang tidak memiliki muatan KEWI di atas. Ke dua kenis kelompok stigma tidak baik di atas menandakan adanya berkeliaran wartawan kurang atau bahkan TIDAK Profesional.
3. Profesionalisme memang dapat dipelajari, akan tetapi beberapa diantara insan pers lebih memilih kurang perduli dan kurang penting mengikuti pendidikan peningkatan kualitas SDM (bidang pers) karrena merasa telah cukup berbekal kemampuan menulis dan pengalaman. Padahal dalam kompetisi pers zaman millenium ini tidak saja menuntut kemampuan menulis dengan baik dan jam terbang yang tinggi, tetapi yang tidak kalah penting adalah kesiapan menerima perubahan cara berpikir masyarakat secara universal terutama dalam bidang teknologi dan informasi. Wartawan yang memilih status quo dan reaktif menerima perubahan dalam bidang Teknologi komunikasi dan informasi ini sulit berubah.
4. Insan pers yang berada di provinsi metropolitan ternyata mendominasi pelanggaran kode etik pers, bahkan di DKI Jakarta terdapat 68 kasus, ini menandakan bahwa wartawan yang menjalankan profesinya dengan tidak profesional dan proporsional ternyata lebih banyak di kota metropolitan. Apakah kebutuhan akan tingkat kemakmuran wartawan di ibukota lebih rawan dan rentan terhadap terjadinya peluang pelanggaran kode etik pers. Kongkritnya, apakah wartawan di kota metropolitan lebih rendah komitmen dan integritasnya? atau memang karena kasus-kasus di kota metropolitan yang memang sangat tinggi rating kejadiannya sehingga merasa perlu menyeret pelakunya?
Pengaduan Masyarakat -telah dipublikasikan ke seluruh media massa, baru-baru ini- ada beberapa bentuk kejadian pelanggaran tersebut, antara lain adalah pemberitaan yang tidak berimbang, menghakimi, bernuansa opini pribadi, tidak menggali informasi dengan akurat, keterangan yang diperoleh dari narasumber berbeda dengan yang ditulis dalam berita.
Apa akibatnya dari penyikapan yang melanggar kode etik pers? Ada beberapa kasus ditemukan insan pers kita berada dalam tindakan intimidasi, terancam eksistensinya, depresi bahkan yang mengerikan adalah tindakan yang membahayakan jiwanya dan ternyata ada yang menemui ajalnya akibat kemarahan yang amat sangat dari narasumber yang merasa dipojokkan yang berakibat hancurnya kredibiitas dan reputasi yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar