TARI GANDRUNG BANYUWANGI
Sebuah Potret Sejarah Seni Pertunjukan
Abstrak: Seni pertunjukan rakyat banyak dijumpai di wilayah Banyuwangi. Hal ini sebagai bukti bahwa sejarah seni pertunjukan tradisional masih dapat survive sampai sekarang. Tari Gandrung Banyuwa ngi merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang masih dapat menunjukkan eksistensinya. Tari Gandrung merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan rohani, karena dikaitkan dengan unsur sakral yang dipercayai oleh masyarakat. Cerita yang ada pada tari gandrung tidak lepas dari kepercayaan tentang sejarah masa lalu wilayah Banyuwangi.
Kata Kunci: Tari Gandrung, Banyuwangi, Sakral
Banyuwangi dalam konteks kepariwisataan sudah sangat memungkinkan untuk dijadikan tolok ukur obyek kajian penelitian. Hal ini terutama di sebabkan karena dari segi geo-kultural, wilayah Banyuwangi memiliki potensi yang sangat kaya dengan khazanah sejarah dan kebudayaan. Namun potensi tersebut belum banyak yang mengkajinya, walaupun ada baru sedikit sekali yang dikelola dan diapresiasikan untuk kepentingan pariwisata, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu potensi tersebut sebut saja misalnya tari Gandrung Banyuwangi. Sejarah perkembangan tari gandrung tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan tari seblang. Hal ini sebagaimana dijelaskan Hendyck Suwardi (1984) dalam pertemuan para budayawan Banyuwangi menjelaskan, bahwa gandrung di tinjau dari segi terjadinya ada kaitannya dengan 2 (dua) buah seni pertunjukan sakral yaitu: “Sang Hyang” dan “Seblang”. Kedua tari tersebut merupakan gabungan jenis tari yang dianggap sebagai kegiatan upacara yang1
mengandung kepercayaan magis dari agama Hindu. Karena lewat mantra-mantranya dan upacara magis tertentu, yakni dengan memanggil seorang dewi atau bidadari untuk turun ke dunia melalui sebuah medium gerak (tari).
Tari Gandrung Banyuwangi (Gandrung Banyuwangi)
Tari gandrung Banyuwangi memiliki banyak aspek yang mendapatkan perhatian secara cermat, untuk itu berikut ini diberikan deskripsi tentang identitas tari gandrung Banyuwangi.
Nama : Tari Gandrung Banyuwangi
Daerah asal : Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi
Fungsi : Tari Pertunjukan
Tema / isi : Tarian sakral
Komposisi tari : Tari tunggal
Desain lantai : lurus, melingkar, dan diagonal.
Ragam tari : jejer, gandrungan,seblangan.
Komposisi koreografis:
1. Titik tumpu, pada umumnya tarian Banyuwangi, bertitik tumpu pada berat badan terletak pada tapak kaki bagian depan (jinjid).
2. Tubuh bagian dada di dorong kedepan seperti pada tari Bali
3. Gerak tubuh ke depan yang di sebut dengan ngangkruk
4. Gerak persendian; terbagi dalam gerak leher, misalnya:
a. Deleg Duwur, yaitu gerakan kepala dan leher yang digerakkan hanya leher bagian atas saja, gerak kepala ke kiri dan ke kanan.
b. Deleg nduwur atau dinggel, yaitu sama dengan atas hanya saja disertai dengan tolehan.
c. Deleg manthuk, yakni gerakan kepala mengangguk.
d. Deleg layangan, yaitu gerakan deleg duwur yang di sertai dengan ayunan tubuh.
e. Deleg gulu, yaitu gerakan kepala ke kiri dan ke kanan.
Di samping itu masih ada lagi gerak persendian bahu. Gerakan ini dalam tari gandrung terdiri dari:
a. Jingket, gerakan bahu yang di gerakan ke atas kebawah atau ke samping.
b. Egol pantat yang lombo dan kerep, yakni gerakan pantat ke kanan ke kiri mengikuti iringan musik gendang.
Sikap dan gerak jari, gerakan ini ada 3 (tiga) macam diantarannya:
1. Jejeb yaitu posisi tiga jari merapat dan telunjuk merapat pada ibu jari.
2. Cengkah yaitu keempat jari merapat dan ibu jari tegak kearah telapak tangan.
3. Ngeber yaitu telapak tangan terbuka, tangan lurus sejak pangkal lengan sampai ujung jari.
Permainan sampur, merupakan komunikasi antara pria dan wanita. Dalam hal ini ada beberapa macam antara lain.
1. Nantang, yaitu sampur di lempar ke arah penari pada gong pertama dan seterusnya.
2. Ngiplas atau nolak kanan dan kiri satu persatu.
3. Ngumbul, yaitu membuang ujung sampur ke atas kedalam atau keluar.
4. Ngebyar, yaitu kedua ujung sampur di kibaskan arah ke dalam atau ke luar.
5. Ngiwir, yaitu ujung sampur di jipit dan di getarkan.
6. Nimpah, yaitu ujung sampur disampirkan ke lengan kanan atau kiri pada gerakan sagah atau ngalang.
Sikap dan gerakan kaki, gerakan ini antara lain.
1. Laku nyiji
2. Laku ngloro
3. Langkah genjot
4. Langkah triol atau kerep.
Latar Belakang dan Sejarah Tari Gandrung.
Tari gandrung yang di bahas dalam studi ini merupakan jenis seni tari yang berkembang di wilayah Banyuwangi dan menjadi kebanggaan masyarakat, terutama di masyarakat “Osing” sehingga lebih di kenal dengan sebutan gandrung Banyuwangi. Tari gandrung ini, keberdaannya terkait langsung dengan dua jenis seni pertunjukan yang disakralkan oleh sebagian masyarakat Osing di Banyuwangi, yakni “Sang Hyang” dan tari “Seblang” keduanya merupakan jenis tari yang disakralkan sehingga keterkaitannya dengan kegiatan upacara magis yang selalu di peringati setiap tahun oleh masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat “Osing”
Kedua jenis seni yang merupakan tarian kepercayaan dari agama Hindu, dengan mantra-mantranya dan upacara magis tertentu itu, maka dalam pertunjukannya lewat mantra-mantranya memanggil seorang dewi atau bidadari untuk turun ke dunia yang diwujudkan dengan menggunakan medium anak-anak, adalah digambarkan dengan menggunakan anak kecil sekitar umur 10 tahun. Anak yang dijadikan sebagai medium pertunjukan pada umumnya adalah anak laki-laki, kemudian seorang “pengundang” sambil membakar kemenyan yang asapnya ditiupkan dihadapan sang anak, sambil mengalunkan gending-gending, sesaat kemudian anak tersebut menjadi tidak sadarkan diri seperti orang gila. Dalam hal ini ia menari-nari sambil membawa sebilah keris yang ditusuk-tusukkan di bagian tubuhnya, namun anehnya dalam tubuh anak tersebut tidak ada bekas luka-luka sedikitpun. Kejadian semacam ini juga terdapat dalam tari seblang, tapi mediumnya anak perempuan kecil yang umurnya sama dengan tarian sang Hyang. Dalam menari anak tersebut juga memegang sebilah keris tetapi pada saat tidak sadar keris tersebut tidak untuk menusuk pada bagian tubuhnya, melainkan dimainkannya bagikan kipas.
UNIVERSITAS GUNADARMA
Aplication of Gunadarma
Cari Blog Ini
Etika dan profesionalisme
Senin, 18 April 2011
manusia dan tanggung jawab
MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB
Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di namakan hak.Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,karena tanpa tanggung jawab,maka semuanya akan menjadi kacau. bisa di bilang juga tanggung jawab adalah menanggung semua tindak peristiwa, seperti kata-kata dan tindakan. dan bisa juga menanggung semua resiko dari kata-kata atau tindakan yang telah kita perbuat. kalo kita tidak bisa bertanggung jawab semua kepercayaan yang orang telah berikan kepada kita akan hilang begitu saja.
tanggung jawab bersifat kodrat. arti ya tanggung jawab sudah satu paket dengan kehidupan manusia mulai dari mengenal dunia sampai mati.
macam-macam tanggung jawab:
tanggung jawab kepada diri sendiri
Tanggungjawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memnuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadiannya. Dengan demikian is dapat menyelesaikan masalahnya.
tanggung jawab kepada keluarga
tanggung jawab kepada keluarga lebih besar n berat karena di situ kita mesti memikul beban nama kedua orang tua kita yang telah melahirkan kita untuk tidak menjadi nama yang jelek di masyarakat. dan menlindungi keluarga kita dari berbagai masalah internal maupun internal
tanggung jawab kepada masyarakat
segala ucapan dan tindakan harus hati-hati karena mengundang banyak orang
tanggung jawab kepada bangsa dan negara
dari sini kita bisa melihat seberapa nasional kah kita
tanggung jawab kepada TUHAN YANG MAHA ESA
segala apa yang kita perbuat di dunia semua itu di catat oleh semua malaikat dan akan di pertanggung jawab kan pada saat dunia ini sudah berakhir (kiamat)
Wujud tanggungjawab adalah berupa pengabdian dan pengorbanan
Pengabdian
Pengabdian adalah baik perbuatan yang dipikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih dan hormat yang dilakukan dengan iklas.
Pengorbanan
Pengorbanan berarti persembahan, sehingga pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian.
Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di namakan hak.Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,karena tanpa tanggung jawab,maka semuanya akan menjadi kacau. bisa di bilang juga tanggung jawab adalah menanggung semua tindak peristiwa, seperti kata-kata dan tindakan. dan bisa juga menanggung semua resiko dari kata-kata atau tindakan yang telah kita perbuat. kalo kita tidak bisa bertanggung jawab semua kepercayaan yang orang telah berikan kepada kita akan hilang begitu saja.
tanggung jawab bersifat kodrat. arti ya tanggung jawab sudah satu paket dengan kehidupan manusia mulai dari mengenal dunia sampai mati.
macam-macam tanggung jawab:
tanggung jawab kepada diri sendiri
Tanggungjawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memnuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadiannya. Dengan demikian is dapat menyelesaikan masalahnya.
tanggung jawab kepada keluarga
tanggung jawab kepada keluarga lebih besar n berat karena di situ kita mesti memikul beban nama kedua orang tua kita yang telah melahirkan kita untuk tidak menjadi nama yang jelek di masyarakat. dan menlindungi keluarga kita dari berbagai masalah internal maupun internal
tanggung jawab kepada masyarakat
segala ucapan dan tindakan harus hati-hati karena mengundang banyak orang
tanggung jawab kepada bangsa dan negara
dari sini kita bisa melihat seberapa nasional kah kita
tanggung jawab kepada TUHAN YANG MAHA ESA
segala apa yang kita perbuat di dunia semua itu di catat oleh semua malaikat dan akan di pertanggung jawab kan pada saat dunia ini sudah berakhir (kiamat)
Wujud tanggungjawab adalah berupa pengabdian dan pengorbanan
Pengabdian
Pengabdian adalah baik perbuatan yang dipikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih dan hormat yang dilakukan dengan iklas.
Pengorbanan
Pengorbanan berarti persembahan, sehingga pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian.
manusia dan keadilan
Dalam hidupdan kehidupan, setiap manusia dalam melakukan aktifitasnya pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan sebaliknya, melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalui dibenturkan oleh permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang kesemuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis, menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita “manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal – hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana keadilan memiliki cirri antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hokum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dilakukan.
Kecurangan pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi moralitas.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecurangan antara lain ;
1. Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan membahagiakan dirinya. Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai mahluk lemah, tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal pintas dalam merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain disekelilingnya.
2. Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi dari sikapdan mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan” meski terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran moral saat ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada setiapindividu didalamnya sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan dan bahkan menegakan keadilan.
3. Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah kebijakan bahkan keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita pun mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit sekali untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita sendiri harus bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai perasaan orang lain. Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang sangat sopan dan santun.
4. dan lain sebagainya.
Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan dalam waktu bersamaan karena kedua sangat bertolak belakang dan berseberangan.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis, menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang, pengakuan secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita “manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal – hal yang tidak semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana keadilan memiliki cirri antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hokum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan dusta atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama dengan apa yang dilakukan.
Kecurangan pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis serta sulit untuk membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan nurani dan sisi moralitas.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecurangan antara lain ;
1. Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan membahagiakan dirinya. Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai mahluk lemah, tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal pintas dalam merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain disekelilingnya.
2. Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi dari sikapdan mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan” meski terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran moral saat ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada setiapindividu didalamnya sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan dan bahkan menegakan keadilan.
3. Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah kebijakan bahkan keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita pun mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit sekali untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita sendiri harus bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai perasaan orang lain. Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang sangat sopan dan santun.
4. dan lain sebagainya.
Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat berjalan dalam waktu bersamaan karena kedua sangat bertolak belakang dan berseberangan.
manusia dan penderitaaan
Manusia dan penderitaan
Penderitaan
Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit, lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi filsuf besar.
Lain lagi dengan filsuf Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.
Sama halnya dengan filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya. Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang besar.
Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.
Contoh lain ialah penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia).
Penderitaan dan Kenikmatan
Tujuan manusia yang paling populer adalah kenikmatan, sedangkan penderitaan adalah sesuatu yang selalu dihindari oleh manusia. Oleh karena itu, penderitaan harus dibedakan dengan kenikmatan, dan penderitaan itu sendiri sifatnya ada yang lama dan ada yang sementara. Hal ini berhubungan dengan penyebabnya. Macam-macam penderitaan menurut penyebabnya, antara lain: penderitaan karena alasan fisik, seperti bencana alam, penyakit dan kematian; penderitaan karena alasan moral, seperti kekecewaan dalam hidup, matinya seorang sahabat, kebencian orang lain, dan seterusnya.Semua ini menyangkut kehidupan duniawi dan tidak mungkin disingkirkan dari dunia dan dari kehidupan manusia.
Penderitaan dan kenikmatan muncul karena alasan “saya suka itu” atau “sesuatu itu menyakitkan”. Kenikmatan dirasakan apabila yang dirasakan sudah didapat, dan penderitaan dirasakan apabila sesuatu yang menyakitkan menimpa dirinya. Aliran yang ingin secara mutlak menghindari penderitaan adalah hedonisme, yaitu suatu pandangan bahwa kenikmatan itu merupakan tujuan satu-satunya dari kegiatan manusia, dan kunci menuju hidup baik. Penafsiran hedonisme ada dua macam, yaitu:
1. Hedonisme psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan diarahkan untuk mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan.
2. Hedonisme etis yang berpandangan bahwa semua tindakan ‘harus’ ditujukan kepada kenikmatan dan menghindari penderitaan.
Kritik terhadap hedonisme ialah bahwa tidak semua tindakan manusia hedonistis, bahkan banyak orang yang tampaknya merasa bersalah atas kenikmatan-kenikmatan mereka. Dan hal ini menyebabkan mereka mengalami penderitaan. Pandangan Hedonis psikologis ialah bahwa semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran penderitaan. Mengejar kenikmatan sebenarnya tidak jelas, sebab ada kalanya orang menderita dalam rangka latihan-latihan atau menyertai apa yang ingin dicapai atau dikejarnya. Kritik Aristoteles ialah bahwa puncak etika bukan pada kenikmatan, melainkan pada kebahagiaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenikmatan bukan tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan. Berbeda dengan John Stuart Mill yang membela Hedonisme melalui jalan terhormat, utilitarisme yaitu membela kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi. Suatu tindakan itu baik sejauh ia lebih “berguna” dalam pengertian ini, yaitu sejauh tindakan memaksimalkan kenikmatan dan meninimalkan penderitaan.
Penderitaan dan Kasihan
Kembali kepada masalah penderitaan, muncul Nietzsche yang memberontak terhadap pernyataan yang berbunyi: “Dalam menghadapi penderitaan itu, manusia merasa kasihan”. Menurut Nietzche, pernyataan ini tidak benar, penderiutaan itu adalah suatu kekurangan vitalitas. Selanjutnya ia berkata, “sesuatu yang vital dan kuat tidak menderita, oleh karenanya ia dapat hidup terus dan ikut mengembangkan kehidupan semesta alam. Orang kasihan adalah yang hilang vitaliatasnya, rapuh, busuk dan runtuh. Kasihan itu merugikan perkembangan hidup”. Sehingga dikatakannya bahwa kasihan adalah pengultusan penderitaan. Pernyataan Nietzsche ini ada kaitannya dengan latar belakang kehidupannya yang penuh penderitaan. Ia mencoba memberontak terhadap penderitaan sebagai realitas dunia, ia tidak menerima kenyataan. Seolah-olah ia berkata, penderitaan jangan masuk ke dalam hidup dunia. Oleh karena itu, kasihan yang tertuju kepada manusia harus ditolak, katanya.
Pandangan Nietzsche tidak dapat disetujui karena: pertama, di mana letak humanisnya dan aliran existensialisme. Kedua, bahwa penderitaan itu ada dalam hidup manusia dan dapat diatasi dengan sikap kasihan. Ketiga, tidak mungkin orang yang membantu penderita, menyingkir dan senang bila melihat orang yang menderita. Bila demikian, maka itu yang disebut sikap sadisme. Sikap yang wajar adalah menaruh kasihan terhadap sesama manusia dengan menolak penderitaan, yakni dengan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan penderitaan, dan bila mungkin menghilangkannya
Penderitaan
Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit, lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi filsuf besar.
Lain lagi dengan filsuf Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.
Sama halnya dengan filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya. Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang besar.
Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.
Contoh lain ialah penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia).
Penderitaan dan Kenikmatan
Tujuan manusia yang paling populer adalah kenikmatan, sedangkan penderitaan adalah sesuatu yang selalu dihindari oleh manusia. Oleh karena itu, penderitaan harus dibedakan dengan kenikmatan, dan penderitaan itu sendiri sifatnya ada yang lama dan ada yang sementara. Hal ini berhubungan dengan penyebabnya. Macam-macam penderitaan menurut penyebabnya, antara lain: penderitaan karena alasan fisik, seperti bencana alam, penyakit dan kematian; penderitaan karena alasan moral, seperti kekecewaan dalam hidup, matinya seorang sahabat, kebencian orang lain, dan seterusnya.Semua ini menyangkut kehidupan duniawi dan tidak mungkin disingkirkan dari dunia dan dari kehidupan manusia.
Penderitaan dan kenikmatan muncul karena alasan “saya suka itu” atau “sesuatu itu menyakitkan”. Kenikmatan dirasakan apabila yang dirasakan sudah didapat, dan penderitaan dirasakan apabila sesuatu yang menyakitkan menimpa dirinya. Aliran yang ingin secara mutlak menghindari penderitaan adalah hedonisme, yaitu suatu pandangan bahwa kenikmatan itu merupakan tujuan satu-satunya dari kegiatan manusia, dan kunci menuju hidup baik. Penafsiran hedonisme ada dua macam, yaitu:
1. Hedonisme psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan diarahkan untuk mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan.
2. Hedonisme etis yang berpandangan bahwa semua tindakan ‘harus’ ditujukan kepada kenikmatan dan menghindari penderitaan.
Kritik terhadap hedonisme ialah bahwa tidak semua tindakan manusia hedonistis, bahkan banyak orang yang tampaknya merasa bersalah atas kenikmatan-kenikmatan mereka. Dan hal ini menyebabkan mereka mengalami penderitaan. Pandangan Hedonis psikologis ialah bahwa semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran penderitaan. Mengejar kenikmatan sebenarnya tidak jelas, sebab ada kalanya orang menderita dalam rangka latihan-latihan atau menyertai apa yang ingin dicapai atau dikejarnya. Kritik Aristoteles ialah bahwa puncak etika bukan pada kenikmatan, melainkan pada kebahagiaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenikmatan bukan tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan. Berbeda dengan John Stuart Mill yang membela Hedonisme melalui jalan terhormat, utilitarisme yaitu membela kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi. Suatu tindakan itu baik sejauh ia lebih “berguna” dalam pengertian ini, yaitu sejauh tindakan memaksimalkan kenikmatan dan meninimalkan penderitaan.
Penderitaan dan Kasihan
Kembali kepada masalah penderitaan, muncul Nietzsche yang memberontak terhadap pernyataan yang berbunyi: “Dalam menghadapi penderitaan itu, manusia merasa kasihan”. Menurut Nietzche, pernyataan ini tidak benar, penderiutaan itu adalah suatu kekurangan vitalitas. Selanjutnya ia berkata, “sesuatu yang vital dan kuat tidak menderita, oleh karenanya ia dapat hidup terus dan ikut mengembangkan kehidupan semesta alam. Orang kasihan adalah yang hilang vitaliatasnya, rapuh, busuk dan runtuh. Kasihan itu merugikan perkembangan hidup”. Sehingga dikatakannya bahwa kasihan adalah pengultusan penderitaan. Pernyataan Nietzsche ini ada kaitannya dengan latar belakang kehidupannya yang penuh penderitaan. Ia mencoba memberontak terhadap penderitaan sebagai realitas dunia, ia tidak menerima kenyataan. Seolah-olah ia berkata, penderitaan jangan masuk ke dalam hidup dunia. Oleh karena itu, kasihan yang tertuju kepada manusia harus ditolak, katanya.
Pandangan Nietzsche tidak dapat disetujui karena: pertama, di mana letak humanisnya dan aliran existensialisme. Kedua, bahwa penderitaan itu ada dalam hidup manusia dan dapat diatasi dengan sikap kasihan. Ketiga, tidak mungkin orang yang membantu penderita, menyingkir dan senang bila melihat orang yang menderita. Bila demikian, maka itu yang disebut sikap sadisme. Sikap yang wajar adalah menaruh kasihan terhadap sesama manusia dengan menolak penderitaan, yakni dengan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan penderitaan, dan bila mungkin menghilangkannya
Langganan:
Postingan (Atom)